Sebanyak 18 kasus leptospirosis muncul di Kulonprogo sepanjang Januari-Maret 2017 ini. Dari jumlah tersebut, 6 orang penderitanya diketahui meninggal dunia akibat keterlambatan penanganan.
Data Dinas Kesehatan Kulonprogo, pada Januari terjadi 7 kasus dengan 2 orang pasien meninggal dunia. Februai muncul 7 kasus dengan pasien meninggal sebanyak 3 orang. Sedangkan pada Maret ada 12 kasus dengan satu pasien meninggal dunia.
Wilayah dengan jumlah kasus leptospirosis terbanyak ada di kecamatan Girimulyo dengan 7 kasus.
Diikuti Kokap 6 kasus, Nanggulan dan Pengasih masing-masing 3 kasus, Samigaluh dan Lendah 2 kasus, serta Galur, Temon, dan Panjatan masing-masing satu kasus.
Kepala Dinkes Kulonprogo, Bambang Haryatno mengatakan, munculnya kasus leptospirosis pada 2017 nini memang cenderung meningkat dibanding 2016 lalu yang hanya ada 23 kasus dengan jumlah penderita meninggal dunia sebanyak 5 orang.
Hal ini dipengaruhi oleh intensitas hujan yang cenderung tinggi pada triwulan pertana 2017 sehingga tikus-tikus pembawa penyakit tersebut lebih mudah berkembang biak dan populasinya cenderung meningkat di tengah pemukiman.
“Penderita yang meninggal kebanyakan itu sudah lanjut usia dengan kondisi kesehatan yang cenderung sudah sangat melemah saat dibawa ke rumah sakit. Akibatnya, mereka tidakk bisa diselamatkan meski sudah dilakukan perawatan sedemikian rupa,” kata Bambang, Minggu (28/3/2017).
Musim hujan itu juga membawa pengaruh meluasnya penyebaran penyakit di Kulonprogo.
Jika biasanya kasus ini hanya muncul di Nanggulan yang berdekatan dengan daerah endemis di Sleman, saat ini persebarannya hampir merata di semua wilayah Kulonprogo.
Terutama wilayah dengan karakteristik banyak terdapat areal persawahan yang dekat dengan pemukiman warga.
Kondisi ini menjadi perhatian serius Dinkes Kulonprogo. Pemantauan di lapangan terus diperketat melalui Puskesman dengan alat khusus untuk mendiagnosa leptospirosis.
Bambang mengatakan, pihaknya sudah mendapatkan kiriman stok alat pendeteksi itu dari Dinkes DIY sebanyak 20 boks dan langsung didistribusikan ke puskesmas-puskemas di wilayah kemunculan leptospirosis supaya pendeteksian penyakit itu bisa lebih cepat dilakukan.
Menurutnya, penyebaran leptospirosis ini melalui media pinjat atau kutu pada tikus sawah yang terbawa ke tubuh manusia karena kontak langsung maupun tidak langsung.
Pola Hidup bersih dan Sehat (PHBS) dengan kebiasaan cuci tangan sebelum makan, mandi dan cuci kaki setelah bepergian, terutama setelah berladang disebutnya bisa menangkal penjangkitan leptospirosis kepada manusia.
“Gejala penyakitnya mirip hepatitis, seperti badan panas dan menguning. Kalau sudah akut, bisa menyerang ginjal namun temporer. Setelah menjalani hemodialisis, penderitanya bisa pulih kembali. Namun, ini juga tergantung ketahanan tubuh penderita. Pada beberapa kasus pasien meninggal, itu karena kondisinya sudah lanjut usia dan kesehatannya sudah sangat melemah sehingga tidak bisa diselamatkan,” kata Bambang.
Satu di antara pasien penderita leptospirosis asal Nanggulan, juminten, mengatakan, dirinya sudah menjalani perawatan intensif di RSUD Wates sekitar 10 hari belakangan.
Sebelumnya, ia mengalami demam tinggi selama beberapa hari hingga lemas karena kekurangan cairan tubuh.
Dia sebelumnya sudah berobat ke Puskesmas namun ternyata sakitnya tak kunjung sembuh. “Akhirnya dirujuk ke RSUD Wates,” kata dia. (*)
Sumber : Tribun Jogja News
EmoticonEmoticon