Daun sirih merupakan bahan utama kinang. Biasanya, daun ini dikunyah bersama gambir, dan injet (kapur). Tetapi ada juga yang menambahkan buah pinang dan kapulaga. Setiap daerah mempunyai variasinya masing-masing.
Tradisi mengunyah sirih beserta rempah-rempahnya yang disebut dengan nginang merupakan salah satu cara yang paling jitu untuk menjaga kesehatan. Mengapa? Sebab, seluruh bahan kinang, baik daun sirih, buah pala, gambir, hingga kapurnya merupakan antibiotik alami yang sangat baik untuk tubuh.
Dari Sabang sampai Merauke, sebenarnya memiliki kebiasaan atau tradisi menginang. Sayangnya tradisi ini sudah hampir ditinggalkan oleh banyak orang yang merasa dirinya modern. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa tradisi menginang ini sebelumnya sangat populer di Asia.
Menginang bukan hanya berfungsi sebagai suplemen kesehatan saja. Tetapi menginang ternyata merupakan ungkapan materiil dari kearifan dan kebijaksanaan nenek moyang. Sepatutnya generasi sekarang harus melestarikan produk budaya tersebut. Bukan dalam artian untuk menginang atau menyirih, tetapi lebih merevitalisasi kebijaksanaan leluhur dalam kinang.
Lalu apa hubungan antara sirih atau kinang dengan sekapur sirih dalam pembukaan yang sering kita lihat dalam buku-buku?
Ternyata hubungan dua hal tersebut sangat erat. Saat Nuswantara masih dalam kepemimpinan Wilwatikta, kinang biasa dijadikan sebagai suguhan untuk tamu atau pendatang.
Kinang selalu menjadi sajian pertama, sebelum sajian berikutnya yang bervariasi menurut adat istiadat tiap suku di Indonesia. Setelah kinang ada yang menawarkan minuman berfermentasi, ada yang menawarkan makanan, dan sebagainya.
Tetapi dari seluruh variasi tersebut, kinang selalu menjadi sajian pertama.
Padahal rasa dari kinang adalah pedas dan pahit. Biasanya sang tuan rumah akan meramu dan menyuguhkan kinang kepada tamu. Kemudian pihak tuan rumah dan tamu akan mengunyah lalu memakan kinang bersama-sama.
Dari sini kita tahu bahwa kinang atau sekapur sirih merupakan simbol perkenalan, pertemanan, dan persahabatan. Makna yang terkandung dalam sekapur sirih adalah sepahit atau sepedas apa pun ucapan yang akan terlontar dari mulutmu, maka sebagai tuan rumah aku akan menerima. Begitu pun sebaliknya, sepedas atau sepahit apa pun tanggapan yang terlontar dari mulutmu, maka sebagai tamu ia akan menerima.
Jadi, tradisi sirih ini merupakan tradisi yang efektif untuk meredam konflik dan perselisihan. Sebab dengan tradisi ini banyak pihak yang akan merasa rela dan ikhlas.
Kemudian, dalam jagat sastra Indonesia, tradisi sekapur sirih ini diadopsi sebagai salam perkenalan dalam dunia buku. Sayangnya, banyak penulis ataupun sastrawan di dekade ini yang tidak mengetahui asal muasal sekapur sirih dalam dunia buku.
Selain itu, jika kinang ditelan dan dimakan, maka ia juga berfungsi sebagai antibiotik. Bahkan disebutkan bahwa kinang bisa membuat kita terhindar dari diabetes. Ada yang menyebutkan bahwa diabetes bisa diobati dengan kinang.
Banyak fakta dan bukti yang menunjukkan bahwa kinang memang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Beberapa waktu yang lalu, ditemukan tengkorak-tengkorak era kemerdekaan di Indonesia. Gigi tengkorak tersebut masih lengkap dan sangat kuat.
Maka dari itu, sangat bijak jika kita sebagai anak-cucu meneruskan kembali tradisi ini. Baik secara material simbolik ataupun secara nilai kearifan dan kebijaksanaan para leluhur.
Tradisi mengunyah sirih beserta rempah-rempahnya yang disebut dengan nginang merupakan salah satu cara yang paling jitu untuk menjaga kesehatan. Mengapa? Sebab, seluruh bahan kinang, baik daun sirih, buah pala, gambir, hingga kapurnya merupakan antibiotik alami yang sangat baik untuk tubuh.
Tradisi Nginang
Dok. Istimewa: Eyang sedang menginang. |
Menginang bukan hanya berfungsi sebagai suplemen kesehatan saja. Tetapi menginang ternyata merupakan ungkapan materiil dari kearifan dan kebijaksanaan nenek moyang. Sepatutnya generasi sekarang harus melestarikan produk budaya tersebut. Bukan dalam artian untuk menginang atau menyirih, tetapi lebih merevitalisasi kebijaksanaan leluhur dalam kinang.
Sekapur Sirih
Lalu apa hubungan antara sirih atau kinang dengan sekapur sirih dalam pembukaan yang sering kita lihat dalam buku-buku?
Ternyata hubungan dua hal tersebut sangat erat. Saat Nuswantara masih dalam kepemimpinan Wilwatikta, kinang biasa dijadikan sebagai suguhan untuk tamu atau pendatang.
Kinang selalu menjadi sajian pertama, sebelum sajian berikutnya yang bervariasi menurut adat istiadat tiap suku di Indonesia. Setelah kinang ada yang menawarkan minuman berfermentasi, ada yang menawarkan makanan, dan sebagainya.
Tetapi dari seluruh variasi tersebut, kinang selalu menjadi sajian pertama.
Padahal rasa dari kinang adalah pedas dan pahit. Biasanya sang tuan rumah akan meramu dan menyuguhkan kinang kepada tamu. Kemudian pihak tuan rumah dan tamu akan mengunyah lalu memakan kinang bersama-sama.
Dari sini kita tahu bahwa kinang atau sekapur sirih merupakan simbol perkenalan, pertemanan, dan persahabatan. Makna yang terkandung dalam sekapur sirih adalah sepahit atau sepedas apa pun ucapan yang akan terlontar dari mulutmu, maka sebagai tuan rumah aku akan menerima. Begitu pun sebaliknya, sepedas atau sepahit apa pun tanggapan yang terlontar dari mulutmu, maka sebagai tamu ia akan menerima.
Jadi, tradisi sirih ini merupakan tradisi yang efektif untuk meredam konflik dan perselisihan. Sebab dengan tradisi ini banyak pihak yang akan merasa rela dan ikhlas.
Kemudian, dalam jagat sastra Indonesia, tradisi sekapur sirih ini diadopsi sebagai salam perkenalan dalam dunia buku. Sayangnya, banyak penulis ataupun sastrawan di dekade ini yang tidak mengetahui asal muasal sekapur sirih dalam dunia buku.
Suplemen Kesehatan
Dok. Istimewa: Tembakau dan Gambir. |
Banyak yang tidak tahu bahwa kinang ternyata memiliki banyak manfaat dalam bidang kesehatan. Selain untuk penyedap bau mulut, kinang juga berfungsi untuk membasmi kuman-kuman yang berada di mulut.
Selain itu, jika kinang ditelan dan dimakan, maka ia juga berfungsi sebagai antibiotik. Bahkan disebutkan bahwa kinang bisa membuat kita terhindar dari diabetes. Ada yang menyebutkan bahwa diabetes bisa diobati dengan kinang.
Banyak fakta dan bukti yang menunjukkan bahwa kinang memang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Beberapa waktu yang lalu, ditemukan tengkorak-tengkorak era kemerdekaan di Indonesia. Gigi tengkorak tersebut masih lengkap dan sangat kuat.
Maka dari itu, sangat bijak jika kita sebagai anak-cucu meneruskan kembali tradisi ini. Baik secara material simbolik ataupun secara nilai kearifan dan kebijaksanaan para leluhur.